Disusun Oleh : yayuk
NPM : 11.1.01.10.0376
Pemahaman peserta didik yang
berkaitan dengan aspek kejiawaan merupakan salah satu kunci keberhasilan
pendidikan. Oleh karena itu, hasil kajian dan
penemuan sangat diperlukan penerapannya dalam bidang pendidikan.
Misalnya, pengetahuan tentang kharakteristik anak usia SD , cara
penyelenggaraan pendidikan pada jenjang SD, dan konsep bimbingan konseling
untuk anak SD.
Dari pemahaman tersebut diharapkan,
sebagai implikasinya pendidik tidak mungkin memberi perlakuan yang sama kepada setiap peserta didik,
sekalipun mereka mungkin memiliki beberapa persamaan. Penyusun kurikulum perlu
berhati-hati dalam menentukan jenjang pengalamn belajar yang akan dijadikan
garis- garis besar program pengajaran serta tingkat keterincian bahan belajar
yang di gariskan.
Sebelum kita membahas lebih jauh
sebaiknya kita perlu memahami beberapa pengertian untuk dapat kita gunakan
sebagai acuan dalam memahami kharakteristik anak usia SD. Dalam memahami
kharakteristik anak usia SD, kita harus mengerti tentang beberapa aspek antara
lain : perkembangan, pertumbuhan, proses belajar dan kematangan. Perkembangan
adalah : proses terjadinya perubahan pada manusia baik secara fisik ataupun
secara mental sejak berada di dalam kandungan samai manusia tersebut meninggal.
Proses perkembangan pada manusia terjadi dikarenakan manusia mengalami
kematangan dan proses belajar dari waktu ke waktu.
Kematangan adalah perubahan yang
terjadi pada individu dikarenakan adanya pertumbuhan fisik dan biologis,
misalnya seorang anak yang beranjak menjadi dewasa akan mengalami perubahan
pada fisik dan mentalnya.
Peserta didik selalu berada dalam
prosesperubahan, baik karena pertumbuhan maupun karena perkembangan.
Pertumbuhan terutama karena pengaruh faktor internal sebagai akibat kematangan
dan proses pendewasaan, sedangkan perkembangan terutama karena pengaruh lingkungannya.
Sebagai contoh pertumbuhan adalah dorongan untuk berbicara karena kematangan
organ bicara pada usia 1-2 tahun, sedangkan penggunaan bahasa tertentu daalm
bicara tergantung pada lingkungannya sebagai akibat perkembangan.
Selain itu, belajar adalah sebuah
proses yang berkesinambungan dari sebuah pengalaman yang akan membuat suatu
individu berubah dari tidak tau menjadi tahu (kognitif), dari tidak mau menjadi
mau (afektif), dari tidak bisa menjadi bisa (psikomotorik), misalnya: seseorang
anak yang belajar mengendarai sepeda akan terlebih dahulu diberi pengarahan
oleh orang tuannya lalu anak tersebut
mencoba. Untuk mengendarai sepeda hingga bisa.
Proses kematangan dan belajar ankan
sangat menentukan kesiapan belajar pada seseorang, misalnya seseorang yang
proses kematangan belajarnya baik akan kesiapan belajar yang jauh lebih baik
dengan seseorang yang proses belajarnya buruk (Tirtarahardja dan S. L La Sulo,
2005:108-109).
Dari pengertian tersebut dapat kita
ketahui bahwa perkembangan merupakan proses perubahan pada manusia baik secar
fisik maupun secara mental, kematangan merupakan perubahan yang terjadi pada
individu dikarenakan adanya pertumbuhan fisik dan biologis, sedangkan
pertumbuhan terjadi sebagai akibat kematangan dan proses pendewasaan. Ketiga
aspek tersebut sangat berpengaruh dalam proses pembentuksn kharakter seseorang.
Dalam pengertian kharakter dapat
kita ketahui beberapa pendapat menurut Puewardarminta karakter adalah watak,
tabiat, atau sifat-sifat kejiwaan. Abin Syamsuddin Makmun mengatakan bahwa
karakter adalah satu aspek dari kepribadian,dimana karakter adalah konsekuen
tidaknya dalam mematuhi etika perilaku, konsisten atau teguh tidaknya dalam
memegang pendidikan atau pendapat. Menurut Wyne, kata karakter berasal dari
bahasa yunani “karasso” yang berarti “tomark” yaitu menandai atau mengukir.
Yang memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk atau
tingkah laku.
Dalam KBBI . karakter diartikan
sebagai tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang
membedakan seseorang dari pada yang lain.
Sedangkan wtak dalam kamus bahasa
indonesia disrtikan sebagai batin manusia yang mempengaruhi segenap pikiran dan
tingkah laku, budi pekerti, tabiat dasar (Depdiknas 2005: 1270)
Dengan beberapa pengertian tesebut
dapat di katakan bahwa karakteristik siswa adalah : merupakan semua watak yang
nyata dan timbul dalam suatu tindakan siswa dalam kehidupannya sehari-hari.
Sehingga dengan demikian, karena watak dan perbuatan manusia yang tidak akan
lepas dari kodrat, dan sifat, serta bentuknya yang berbeda-beda, maka tidak
heran jika bentuk dan karakter setiap siswa juga beebeda-beda sesuai dengan
keadaan pribadinya.
Dari pengertian karakter tersebut
maka dapat kita ketahui karakteristik anak usia SD , jika kita ketahui
karakteristik anak SD mempermudah dalam proses belajar mengajar. Adapun
beberapa pendapat tentang karakteristik anak usia SD.
Menurut Nasution (1993:44) masa
usia sekolah dasar sebagai masa kanak-kanak akir yang berlangsung dari usia
enam tahun sampai dua belas tahun. Usia ini biasanya di tandai dengan anak
mulai masuk sekolah dasar dan mulainya sejarah baru kehidupannya yang akan
mengubah sikap-sikap tingkah lakunya. Hal ini lebih dikenal “masa sekolah”
karena masa ini anak untuk pertama kalinya menerima pendidikan formal. Masa
sekolah juga sering disebut sebagai masa matang untuk belajar atau masa matang
untuk sekolah. Di katakan masa matang untuk belajar, karena anak sudah berusaha
untuk mencapai sesuatu, akan tetapi perkembangan aktifitas bermain yang hanya
bertujuan untuk mendapatkan kesenangan waktu beraktifitas.
Adapun bentuk dan karakter siswa SD
masa kelas-kelas rendah. Kisaran usia anak berada dalam rentang 5-9 tahun. Usia
ini disebut juga sebagai usia sekolah. Karakteristik anak usia 5 tahun sampai
umur 9 tahun :
1. Imajinatif
serta menyenangi suara dan ritmik
2. Menyenangi
pergaulan aktivitas dan berkompetitif, dan rasa ingintahunya besar.
3. Selalu
memikirkan sesuatu yang di butuhkan dan menyenangi aktifitas kelompok
4. Meningkatnya
minat pada permainan yang terorganisasi
5. Cenderung
membandingkan dirinya dengan teman- temanya, senang meniru idola
6. Mudah
gembira dan sedih, selalu mengiginkan persetujuan orang dewasa tentang apa yang
diperbauat.
Karakteristik anak usia antara 10-12
tahun atau masa kelas-kelas tinggi SD :
1. Menyenangi
permainan aktif
2. Minat
terhadap olahraga kompetitif dan permainan terorganisasi meningkat
3. Rasa
kebanggaan akan keterampilan yang dikuasai tinggi
4. Mencari
perhatian orang dewasa
5. Pemuja
kepahlawanan tinggi
6. Mudah
gembira, kondisi emosionalnya tidak stabil
7. Mulai
memahami arti akan waktu dan ingin mencapai sesuatyu pada waktunya
Menurut
Santrock, 1998, anak usia akhir sesungguhnya dikelilingi oleh 3 lingkungan yang
berbeda, yakni keluarganya, teman sebaya dan lingkungan sekolah. Ketiga
lingkungan ini membawa dampak yang berbeda-beda terrhadap tumbuh kembang anak.
1. Lingkungan
keluarga
Pada usia akhir, waktu anak-anak bersama
keluarganya cenderung berkurang karena anak lebih banyak di sekolah dan atau
bemain dengan teman-teman sebayanya. Namun, meskipun demikian, dalam hal
penanaman norma sosial, kontrol, dan disiplin, orang tua masih memiliki peranan
penting bagi anak. Kontrol yang diberikan orang tua terhadap anak lebih
berkaitan dengan memonitor perkembangan anak, mengarahkan dan memberi
support/dukungan, pemanfaatan waktu secara efektif ketika mereka langsung
berhubungan dengan anak-anaknya., sdan orangtua berusaha menanamkan kepada anak
kemampuan untuk mengontrol perilaku mereka sediri, untuk menghindari resiko
cidera, untuk memahami perilaku yang di harapkan, damn merasakan dukungan, dan
merasakan dukungan dari orang tuanya.
2. Teman
sebaya
Pada anak usia akhir, mereka memang
lebih banyak menghabiskan waktu bersama teman sebayanya. Teman bagi anak usia
akhir memiliki 6 fungsi yaitu : persahabatan, stimulasi/ mendorong, phsycal support, ego support, untuk
perbandingan sosial, keintiman/ relasi afeksi. Adanya kesamaaan dan perasaaan
dekat/ intim merupakan dua hal penting dalam sebuah relasi pertemanan dengan
teman sebayanya.
3. Lingkungan
sekolah
Lingkungan ini memberikan dampak yang
cukup besar terhadap siswa karena anak-anak mengahabiskan waktunya di sekolah.
Guru memiliki peran penting mempengaruhi perkembangan anak. Selain itu di
sekolah anak mempelajari perbedaan-perbedaan antara dirinya dengan
teman-temannya yang sangat beragam. Perbedaan ini bermacam-macam berkaitan
dengan fisik, karakter, latar belakang sosial ekonomi, dan juga suku.
Adapun bentuk-bentuk karakter anak SD
adalah : senang bermain bermain, senang bergerak, anak senang bekerja dalam
kelompok, dan senang merasakan atau melakukan/ memperagakan sesuatu secara
langsung. Dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Senang
bermain
Karakteristik ini menurut guru SD untuk
melaksanakan kegiatan pendidikan yang bermuatan permainan lebih-lebih untuk
kelas rendah. Guru SD seyogyanya merancang model pembelajaran yang memungkinkan
adanya unsur permainan di dalamnya. Guru hendaknya mengembangkan model
pengajaran yang serius tapi santai. Penyusunan jadwal pelajaran hendaknya di
selang seling antara mapel serius seperti ipa, matematika dengan pelajaran yang
mengandung unsur permainan seperti pendidikan jasmani, atau seni budaya dan
ketrampilan.
2. Senang
bergerak
Orang dewasa dapat duduk berjam-jam,
sedangkan anak SD dapat duduk dengan tenang palin lama sekitar 30 menit. Oleh
karena itu, gutu hendaknya merancang model pembelajaran yang memungkinkan anak
berpindah atau bergerak . menyuruh anak untuk duduk rapi untuk jangka waktu
yang lama, dirasakan anak sebagai siksaan.
3. Anak
senang bekerja dalam kelompok
Dari pergaulannya dengan kelompok
sebayanya, anak belajar aspek-aspek yang penting dalam proses sosialisasi,
seperti : belajar memenuhi aturan-aturan kelompok, belajar setia kawan, belajar
memerimanya tanggung jawab, belajar bersaing dengan orang lain secara sehat
(sportif), mempelajari olah raga dan membawa implikasi bahwa guru harus
merancang model pembelajaran yang memungkinkan anak untuk bekerja atau belajar
dalam kelompok, serta belajar keadilan dan demokrasi.
Karakteristik ini membawa implikasi
bahwa guru harus merancang model pembelajaran yang memungkinkan anak untuk
bekerja atau belajar dalam kelompok. Guru dapat meminta siswa untuk membentuk
kelompok. Guru dapat meminta siswa untuk membentuk kelompok kecil dengan
anggota 3-4 orang untuk mempelajari atau menyelesaikan suatu tugas secara.
4. Senang
merasakan atau melakukan/ memperagakan sesuatu secara langsung
Ditinjau dari teori perkembangan kognitif,
anak SD memasuki tahap operasional kongkret. Dari apa yang dipelajari di
sekolah, ia belajar menghubungkan konsep-konsep lama. Berdasakan pengalaman
ini, siswa membentuk konsep-konsep tentang angka, ruang, waktu, fungsi-fungsi
badan, jenis kelamin, moral, dan sebagainya. Bagi anak SD, penjelasan guru
tentang materi pelajarn akan lebih dipahami jika anak melaksanakan sendiri,
sama halnya dengan memberi contoh bagi orang dewasa.
Dengan demikian guru hendaknya merancang
model pembelajaran yang memungkinkan anak terlibat langsung dalam proses
pembelajaran. Sebagai contoh anak lebih memahami tentang solat jika langsung
dengan prakteknya.
Pengembangan diri bertujuan memberi
kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri
sesuai kondisi sekolah. Kegiatan pengembangan diri dilakukan melalui kegiatan
pelayanan konseling yang berkenaan dengan masalah diri pribadi dan kehidupan
sosial, belajar dan pengembangan diri peserta didik.
Karakteristik Anak SD
Anak SD merupakan anak dengan
katagori banyak mengalami perubahan yang sangat drastis baik mental maupun
fisik. Usia anak SD yang berkisar antara 6 – 12 tahun menurut Seifert dan
Haffung memiliki tiga jenis perkembangan :
- Perkembangan Fisik
Hal tersebut mencakup pertumbuhan
biologis misalnya pertumbuhan otak, otot dan tulang. Pada usia 10 tahun baik
lai-laki maupun perempuan tinggi dan berat badannya bertambah kurang lebih 3,5
kg. Namun setelah usia remaja yaitu 12 -13 tahun anak perempuan berkembang
lebig cepat dari pada laki-laki, Sumantri dkk (2005).
- Perkembangan Kognitif
Hal tersebut mencakup perubahan –
perubahan dalam perkembangan pola fikir.Perkembangan kognitif seperti
dijelaskan oleh Jean Piaget dapat dijelaskan berdasarkan tiga pendekatan
perkembangan yaitu :
- Tahapan Pra Oprasional
- Tahapan Oprasional Konkrit
- Tahapan Oprasional Formal
- Perkembangan Psikososial
Hal tersebut berkaitan dengan
perkembangan dan perubahan emosi individu. Seperti dijelaskan oleh Robert J.
Havighurst mengemukakan bahwa setiap perkembangan individu harus sejalan dengan
perkembangan aspek lain seperti di antaranya adalah aspek psikis, moral dan
sosial. Sejalan dengan R. J. Havighurst di atas, Syaodih (2007) menjelaskan
tahapan perkembangan anak jika dipandang dari aspek psikis, moral dan sosial
adalah :
Ketiga jenis perkembangan tersebut
berjalan tergantung dari perkembangan masing masing jenis seperti tersebut di
atas yang berbeda. Hal tersebut tergantung dari variabel stimulan yang
mendorong. Apabila rangsangan fisik yang sering diberikan maka faktor fisik
anak yang berkembangan demikian juga halnya dengan faktor kognitif dan
psikososial.
Karakteristik Pembelajaran Matematika SD
Matematika merupakan ilmu universal
yang mendasari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi moderen, matematika
mempunyai peranan penting dalam berbagai disiplin ilmu yang berimplikasi pada
daya eksplorasi fikiran manusia. Perkembangan pesat ilmu pengetahun dan
teknologi dewasa ini sebagian besar berasal dari perkembangan ilmu terapan matematika.
Maka penguasaan ilmu matematika dasar maupun terapan adalah kunci dari suatu
keinginan untuk mengejar ketertinggalan dalam bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi. Sehingga penguasaan matematika dasar sedapat mungkin telah dimulai
semenjak dini.
Mata pelajaran matematika diberikan
pada tingkat sekolah dasar selain untuk mendapatkan ilmu matematika itu sendiri
demikian juga untuk mengembangkan daya berfikir siswa yang logis, analitis,
sistematis, kritis, kreatif dan mengembangkan pola kebiasaan bekerjasama dalam
memecahkan masalah. Kompetensi tersebut diperlukan siswa dalam mengembangkan
kemampuan mencari, memperoleh, mengelola dan pemanfaatan informasi berdasarkan
konsep berfikir logis ilmiah dalam rangka bertahan dalam kehidupan yang serba
tidak pasti. Di era globalisasi dewasa ini segala hal dalam bertahan hidup
memerlukan kesiapan dalam berkompetisi baik dalam sekala lokal maupun
internasional.
Standar kompetensi dan kompetensi
dasar pada kurikulum KTSP disusun sebagai landasan pembelajaran untuk
mengembangkan kemampuan tersebut di atas. Matematika mengedepankan pendekatan
pemecahan masalah yang mencakup masalah tertutup dengan solusi tunggal, masalah
terbuka dengan pemecahan tidak tunggal dan berbagai masalah matematis dengan
berbagai cara penyelesaian. Untuk meningkatkan kemampuan memecahkan masalah
maka perlu dikembangkan keterampilan menemukan masalah, mencari penyebab
masalah, mengembangkan teknik mencari solusi pemecahan masalah dan menemulkan
solusi yang paling tepat dalam pemecahan masalah. Walaupun dalam tataran
sekolah dasar pengembangan sikap logis ilmiah tersebut sangat perlu tetapi
dalam tataran permasalahan yang sederhana dan kontekstual. Dalam setiap
kesempatan pembelajaran matematika menurut Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(BNSP 2006) hendaknya dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan
situasi (contextual problem) Dengan mengajukan permasalahan yang kontekstual
maka secara bertahap siswa terbimbing untuk menguasai konsep matematika. Untuk
meningkatkan keefektifan pembelajaran guru diharapkan menggunakan pendekatan,
metode dan strategi pembelajaran yang berpusat pada siswa.
Mata pelajaran matematika
pendidikan sekolah dasar bertujuan agar siswa memiliki kemampuan sebagai
berikut :
- Memahami konsep matematika , menjelaskan keterkaitan antara konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, effesien dan tepat dalam pemecahan masalah
- Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika
- Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh
- Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, dan atau media lain untuk memperjelas keadaan dan masalah.
- Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan yang didasari oleh rasa ingin tahu, perhatian dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
Ruang lingkup mata pelajaran
matematika pada satuan pendidikan sekolah dasar meliputi aspek bilangan,
giometri dan pengukuran serta pengolahan data. Bilangan membahas tentang kaedah
konsep simbolisasi lambang bilangan dan perhitungan dasar sederhana yang banyak
melibatkan media konkrit dan media manipulatif lainnya. Giometri dan pengukuran
lebih fokus membelajarkan siswa tentang konsep ruang dan ukurannya dengan
perhitungan dasar yang sederhana menggunakan media konkrit dan media manipulatif
lainnya. Sedangkan Pengolahan data lebih banyak membahas tentang hakekat data,
cara mengolah dan membaca data berdaasrkan kaidah rasional dan ilmiah
menggunakan data-data konkrit dan data manipulatif. Penggunaan media dari
konkrit ke absatrak mempertimbangkan tingkatan kelas dan daya nalar siswa.
Semakin tinggi tingkatan siswa maka penggunaan media di arahkan ke semi abstrak
(manipulatif) sampai tingkatan abstrak. Demikian juga semakin tinggi daya nalar
logis siswa maka semakin berani bagi guru menggunakan media yang semi abstrak
sampai abstrak. Hal ini terjadi pada kasus jika ditemukan siswa yang memiliki
keberbekatan yang tinggi di bidang matrmatika. Sehingga siswa tersebut
diberikan perlakuan khusus sebagai siswa berbakat, jenius dan sejenisnya.
Hal tersebut sejalan dengan
pandangan kaum konstruktifistik yang memandang bahwa pengetahuan adalah atas
dasar bentukan kita sendiri seperti dikemukakan oleh Von Glaserfeld dalam
Suparno (1997). Von Glaserfeld menegaskan bahwa pengetahuan bukanlah suatu
tiruan dan gambaran dari suatu kenyataan yang ada. Pengetahuan selalu merupakan
akibat dari suatu konstruksi kognitif berdasarkan fakta dalam aktifitas
seseorang dalam membagun pengalamanya sendiri. Seseorang membentuk skema,
katagori, konsep dan struktur pengetahuan yang diperlukan dalam membangun
strukgur kognitifnya.
Para konstruktifistik memandang
bahwa satu satunya sarana yang tersedia bagi seseorang untuk mengetahui sesuatu
adalah indranya. Seseorang berinteraksi dengan obyek dan lingkungan dengan
menggunakan segenap panca indranya. Para kontruktifistik percaya bahwa
pengetahuan tumbuh, berkembang dan ada dalam diri seseorang yang dalam keadaan
mencari tahu tentang sesuatu. Pengetahuan tidak begitu saja dapat dipindahkan
dari guru kepada siswanya. Siswa sendirilah yang harus mengartikan apa yang
dibelajarkan guru yang disesuaikan dengan pengalaman-pengalamannya sendiri.
Menurut paham konstrufistik balajar
merupakan proses hasil konstruksi sendiri sebagai hasil interaksinya dengan
berbagai lingkungan dan pengalaman belajar. Pengkontruksian pemahaman dalam
ivent belajar melalui proses asimilasi dan akomodasi. Secara hakiki proses
asimilasi dan akomodasi terjadi sebagai usaha peserta didik untuk
menumbuhkembangkan pengetahuan yang ada dibenaknya (Heinich, et.al 2002)
Pengetahuan yang dimiliki oleh peserta didik awalnya disebut dengan prakonsepsi
yang dimiliki siswa. Proses asimilasi terjadi apabila terdapat kesesuaian
antara pengalaman baru dengan prakonsepsi yang sudah dimiliki siswa. Sedangkan
akomodasi terjadi jika pengalaman baru tidak sesuai dengan prakonsepsi yang
sudah dimiliki siswa. Prinsip ini dikembangkan oleh para pakar pendidikan bahwa
ada satu hal lagi yang terjadi di struktur kognitif siswa jika kedua hal antara
asimilasi dan akomodasi terjadi yang diistilahkan dengan generalisasi.
Dalam hubungannya dengan
pembelajaran matematika dan sains maka para kontrutifisme bergerak pada sisi
mengusahakan perubahan mendasar dari kurikulum yang menggunakan beberapa
prinsip :
- Pendekatan yang menekankan penggunaan matematika dan sains dalam situasi dan minat siswa.
- Matematika pengetahuan artinya, bukan hanya menekankan isi matematika dan sains tetapi juga fokus dalam konteks prinsip-prinsipnya.
- Penekanan lebih pada konstruksi, interpretasi, koordinasi dan multiple ide
- Menekankan agar siswa dapat bereksplorasi menggunakan seluruh panca indranya
Penggunaan Media Alat Peraga
- Media Konkrit
Bagi kaum konstruktifisme belajar
diartikan sebagai usaha mengubah konsepsi kognitif siswa melalaui usaha
stimulan oleh guru menggunakan berbagai metode dan media yang memadai dan
mendukung ke arah tersebut. Sehingga oleh Piaget mengistilahkan belajar adalah
sebagai proses adaptasai kognitif . Ia mengadopsi istilah evolusi ala Darwin
dalam memandang permasalahan ini. Di mana Darwin berpandangan bahwa
perkembangan suatu mahluk hidup termasuk manusia di dalamnya seiring waktu
berlalu selalu melalui proses adaptasi agar ia selalu dapat bertahan dalam
kerasnya kehidupan. Proses adaptasi diperlukan dalam rangka untuk menyesuaikan
diri dengan lingkungannya. Berangkat dari persepektif tersebut maka Piaget
memandang bahwa struktur otak juga mengalami hal yang sama. Struktur otak atau
dalam istilah pendidikan adalah struktur kognitif juga mengalami hal yang
disebut dengan adaptasi. Struktur kognitif beradaptasi melalui tiga cara yaitu
akomodasi, asimilasi dan generalisasi. Akomodasi adalah proses adaptasi
kognitif melalui penggantian konsep dan atau pengalaman lama dengan yang baru
karna tidak sesuai lagi dengan struktur kognitif prakonsepsi siswa . Sedangkan
asimilasi adalah proses adopsi beberapa konsep dan atau pengalaman baru yang
sesuai dengan struktur kognitif prakonsepsi siswa. Sedangakan generalisasi
adalah proses menarik kesimpulan berdasarkan fakta dan konsep.
Berdasarkan prinsip belajar kontruktifistik maka
perantara pembelajaran yang tepat yang dapat menyampaikan pesan pembelajaran
secara tepat adalah media konkrit. Dimana pengertian media konkrit dalam
konteks pendidikan adalah benda benda yang dapat menjadi perantara menyampaikan
pesan pembelajaran dari guru kepada siswa . Dipilih “benda” adalah untuk
menegaskan bahwa obyek tersebut dapat diterima langsung oleh panca indra
manusia, sehingga pada saat guru membelajarkan sesuatu yang berhubungan dengan
suatu benda maka ada baiknya benda tersebut ditampilkan jika memungkinkan dan
apabila tidak dapat digunakan dalam bentuk miniatur atau manipulatif baik
manual ataupun elektronik. Hal yang paling penting adalah siswa mampu
mengimajinasikan kesan obyektif terhadap pesan yang sampaikan.
Media didefinisikan sebagai medium yang artinya
perantara atau pengantar sehingga terjadi komunikasi antara pengirim dan
penerima (Heinich et al, 2002; Ibrahim, 1997; ibrahim et al, 2001) Guru
berperan sebagai komunikator dan siswa adalah komunikan sehingga proses
pembelajaran termasuk salah satu proses komunikasi. Jadi media pembelajaran
adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan (bahan
pembelajaran), sehingga merangsang perhatian minat pikiran dan perasaan siswa
dalam kegiatan pembelajaran sehingga tujuan pembelajaran tercapai.
Proses pembelajaran adalah sebuah sistem yang
menempatkan media pembelajaran dalam posisi penting selain guru, siswa, sumber
belajar dan lingkungan belajar. Posisi media dalam sistem pembelajaran tidak
dapat digantikan jika ingin mendapatkan hasil belajar yang optimal melalui
pembelajaran yang atraktif. Media dapat digolongkan menjadi berbagai jenis
berdasarkan pemakaian dan karakteristik jenis media. Terdapat lima model
klasifikasi media pembelajaran. Seperti dikemukakan oleh (1) Wilbur Schramm,
(2) Gagne, (3) Gerlach adn Ely, dan (4) Ibrahim. Berikut disajikan beberapa
penggolongan media pembelajaran menurut para pakar media pendidikan.
Menurut Schramm, media digolongkan menjadi media rumit,
mahal dan media sederhana. Ia juga mengelompokkan media menurut kemampuan daya
liputan yaitu (1) liputan luas dan serentak seperti TV, radio dan faksimil ;
(2) liputan terbatas pada ruangan seperti film, vidio, slide, poster dan audio
tape; (3) media untuk belajar individual seperti buku, modul, program,komputer
dan telepon.
Menurut Gagne , media dikelompokkan menjadi tujuh
kelompok yaitu benda yang akan didemonstrasikan, komunikasi lisan, media cetak,
gambar diam, gambar bergerak, film bersuara dan mesin belajar. Ketujuh kelompok
media pembelajaran tersebut dikaitkan dengan kemampuannya memenuhi fungsi
menurut hirarki belajar yang dikembangkan yaitu pelontar stimulus bejajar,
penarik minat belajar, contoh perilaku belajar, memberi kondisi eksternal, menuntun
cara berfikir, memasukkan alih ilmu, menilai prestasi dan memberi umpan balik.
Menurut Allen, terdapat sembilan kelompok media,
yaitu visual diam,, film televisi, obyek tiga dimensi, rekaman, pelajaran
terprogram, demonstrasi, buku teks cetak dan sajian lisan. Di samping
mengklasifikasikan, Allen mengkaitkan antara jenis media pembelajaran dan
tujuan pembelajaran yang akan dicapai. Allen melihat bahwa media tertentu
memiliki kelebihan untuk belajar tertentu, tetapi lemah untuk tujuan belajar
yang lain. Allen mengungkapkan enam tujuan belajar, antara lain info faktual,
pengenalan visual, prinsip dan konsep, prosedur, keterampilan dan sikap. Setiap
jenis media tersebut memiliki perbedaan kemampuan untuk mencapai tujuan belajar
(ada tinggi, sedang dan rendah).
Menurut Gerlach dan Ely, media dikelompokkan
berdasarkan ciri-ciri fisiknya atas delapan kelompok, yaitu benda sebenarnya,
presentasi verbal, presentasi grafis, gambar diam, gambar bergerak, rekaman
suara, pengajaran terprogram dan simulasi. Sementara menurut Ibrahim media
dikelompokkan berdasarkan ukuran serta kompleksitas alat dan perlengkapan. Ia
membedakan media menjadi media tanpa proyeksi, media tnpa proyrksi tiga
dimensi, media audio, telvisi, vidio dan komputer.
Jika dipandang berdasarkan karakteristik media maka
media dibedakan menjadi media pembelajaran dua dimensi dan media pembelajaran
tiga dimensi. Media pembelajaran dua dimensi digolongkan kedalam media grafis,
media bentuk papan, media cetak dan media lain yang penampakannya bebentuk dua
dimensi. Sedangka media tiga dimensi digolongkan menjadi belajar benda
sebenarnya melalui karyawisata, spesimen, media tiruan berupa miniatur atau
bentuk lainnya.melalui peta timbul, dan bentuk lainnya yang dapat dilihat
secara tiga dimensi.
Dengan penjabaran di atas maka segala media
karakteristiknya adalah berusaha memvisualisasikan segala bentuk pesan sehingga
siswa menangkap pesan yang disampaikan yang selanjutnya dipersepsikan dalam
struktur kognitif menjadi konsep. Pesan yang dismpaikan dari media apapun
bentuknya akan mengalami proses encoding perseptions dalam pikiran
siswa. Tinkatan persepsi siswa terhadap pesan dari media dalam bentuk apapun
tergantung dari prakonsepsi siswa. Jika dalam struktur kognitif siswa sudah
tertanam suatu konsep (prakonsepsi), dimana kemudia diberikan konsep baru yang
maka proses adaptasi kognitif melalui akomodasi dan asimilasi berlangsung.
Terjadunya perubahan perilaku yang diharapkan menandakan konsep baru berhasil
diadaptasi dan sejalan dengan konsep prakonsepsi yang sudah dimiliki siswa. Itu
artinya penggunaan media sebagai penyampai pesan tepat berdasarkan simpul
kognitif dan waktu (timingnya) tepat.
- Manfaat Media Konkrit
Penggunaan media konkrit dalam
proses pembelajaran membawa dampak yang sangat luas terhadap pola pembelajaran
tingkat sekolah dasar. Sebagian besar materi pembelajaran di SD bersifat
imajinatif baik rasional maupun tidak, baik yang menyangkut saintifik dan non
sains. Hal tersebut berbeda dengan pola pembelajaran sekolah kkejuruan yang
mutlak harus menampilkan media asli ke dalam ruang belajar. Akan tetapi dengan
luasnya bidang pembelajaran di SD yang meliputi IPA, IPS Matematika, Bahasa
hingga keterampilan sehingga menyulitkan kita apabila semua pembelajaran harus
dilengkapi dengan media asli. Sehingga timbul gagasan untuk memanipulasi benda
asli agar menjadi media yang mendekati asli. Hal tersebut akan memudahkan siswa
untuk membangun struktur konsepnya di otak. Secara rinci berikut manfaat dari
media konkrit
- memudahkan siswa dalam membangun struktur kognitif dalam membentuk konsep.
- memudahkan guru dalam melaksanakan pembelajaran agar sesuai dengan program yang sudah ditetapkan.
- mengefektifkan proses pembelajaran
- meningkatkan interaksi komponen pembelajaran
- Keunggulan Media Konkrit
Media konkrit merupakan media yang
saat ini paling dianjurkan penggunaannya oleh para pakar pendidikan, praktisi
pendidikan dan pengamat pendidikan. Hal tersebut terjadi karna media konkrit
memiliki banyak keunggulan di antaranya adalah :
- memiliki tingkat obyektifitas yang tinggi
- mudah berinteraksi dengan siswa melalui segenap panca indra
- memiliki fleksibilitas yang tinggi dimana dapat digunakan untuk pembelajaran mata pelajaran yang lain
- dapat dimanipulasi sesuai dengan kebutuhan, situasi dan kondisi.
- Kelemahan Media Konkrit
Disamping memiliki keunggulan media
konkrit juga memiliki kelemahan. Sebab setiap benda ataupun hal yang lain di
alam ini suatu saat memiliki dampak buruk. Karna hal tersebut selalu
dihubungkan dengan faktor kesesuaian hubungannya dengan manusia. Manusia adalah
subyek penentui apakah suatu benda atau hal lain merugikan atau menguntungkan.
Hal-hal yang merupakan sisi negatif dari benda konkrit adalah berpulang kepada
guru itu sendiri karna siswa sangat diuntungkan dalam hal ini. Sisi negatifnya
adalah :
- sangat merepotkan guru dalam proses persiapan pembelajaran
- kadangkala suatu ide, benda dan hal tertentu sangat sulit dimanipulasi
- kadangkala ada media konkrit yang sangat menarik perhatian siswa sehingga banyak waktu tersita bukan untuk tujuan yang ada kaitannya dengan materi
- sehubungan dengan poin c, maka potensi kegaduhan siswa di kelas akan meningkat.
Sudah barang tentu sisi negatif
memerlukan penanganan manajemen kelas yang effektif, sehingga suasana tetap
menjadi kondusif walaupun potensi kemungkinan paling buruk terjadi.
- Karakteristik Media Konkrit
Digunakannya manipulasi media
konkrit didasari oleh suatu alasan yang rasional dan kuat seperti dijelaskan
berikut ini. Pada pembelajaran menggunakan kartu bilangan dan garis bilangan
adalah jenis alat peraga konkrit manipulatif. Sebabnya adalah sulitnya mencari
alat yang konkrit yang tepat untuk materi pembelajaran tersebut.
Secara khusus manipulasi media
konkrit yang akan digunakan pada kegiatan saat ini adalah :
- Kartu bilangan bergambar
Kartu bilangan di atas dilengkapi
dengan kait gantungan yang akan dipakai menggantungkannya pada paku pada garis
bilangan, sehingga dapat dimainkan oleh siswa.
- Modifikasi garis bilangan
Dimana garis bilangan dibuat dari
sebuah papan dimana titik pada bilangan ditandai dengan paku. Paku selain
sebagai titik penanda juga berfungsi untuk menggantungkan kartu bergambar
bilangan. Sehingga secara bebas dapat dimainkan oleh siswa.
- Tehnik Memainkan
Tehnik memainkan peraga tersebut di atas adalah
sebagai berikut :
a). Tempelkan papan garis bilangan pada papan tulis
b). Kemudian bagikan kartu bilangan kepada siswa
c). Ajak siswa menggantungkan bilangan pada papan
berpaku secara terurut yang dimulai dari bilangan acak bebas sesuai keinginan
siswa.
d). Demikian seterusnya sehingga sambil bermain
siswa dapat mengurutkan bilangan
4. Metode
Bermain
Metode berasal dari Bahasa Yunani
“Methodos’’ yang berarti cara atau jalan yang ditempuh. Sehubungan dengan upaya
ilmiah, maka metode menyangkut masalah cara kerja untuk dapat memahami objek
yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. Fungsi metode berarti sebagai alat
untuk mencapai tujuan. Pengetahuan tentang metode-metode mengajar sangat di
perlukan oleh para pendidik, sebab berhasil atau tidaknya siswa belajar sangat
bergantung pada tepat atau tidaknya metode mengajar yang digunakan oleh guru.
Sedangkan pengertian pembelajaran adalah usaha untuk membuat siswa belajar.
Dengan mengambil dua pengertian di atas maka metode pembelajaran adalah jalan
atau usaha yang ditempuh untuk membuat siswa belajar. Menyimak dari pengertian
tersebut maka metode pembelajaran menempati posisi penting dalam memerankan
fungsinya sebagai alat untuk mencapai tujuan.
Berikut beberapa pengertian metode
seperti dikemukakan oleh beberapa ahli. Pengertian metode menurut Dr.S.
Nasution adalah suatu cara yang digunakan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan
dalam suatu tugas pekerjaan agar dapat mencapai tujuan sesuai yang ditetapkan.
Sedangkan menurut Drs. H Abu Ahmad dkk (2005:52) metode adalah suatu pengetahuan
tentang cara-cara mengajar yang diberikan oleh seorang guru atau instruktur.
Sedangkan menurut kamus besar Bahasa Indonesia metode adalah cara kerja yang
bersistem untuk memudahkan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditetapkan.
Menurut Syaiful B. Djamarah dkk
(2006:82-84), metode berkedudukan :
- Sebagai alat motivasi ekstrinsik dalam kegiatan pembelajaran
- Mensiasati perbedaan individual anak didik
- Untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Makin tepat metode yang
digunakan oleh guru dalam mengajar diharapkan makin efektif dan efesien dalam
mencapai tujuan pembelajaran. Sudah barang tentu factor lainpun harus
diperhatikan seperti ; faktor guru, faktor siswa, faktor situasi, (lingkungan
belajar), media dan yang lainnya.
Terdapat banyak ragam metode
yang dapat diterapkan dalam berbagai situasi pembelajaran sperti metode
ceramah, metode diskusi, metode bermain, metode eksperimen, metode tutor teman
sebaya, metode penugasan, metode observasi, metode bermain dan sebagainya. Saat
ini penulis akan mengangkat metode bermain sebagai salah satu alternative dalam
membuat suasana belajar lebih kreatif sehingga keterlibatan siswa dalam proses
lebih besar.
Salah satu
tokoh yang dianggap paling berjasa sebagai pencetus penggunaan metode bermain
adalah Plato seorang filsuf Yunani. Ia dianggap sebagai orang pertama yang
menyadari dan melihat pentingnya nilai praktis dari bermain. Menurut Plato
anak-anak akan lebih mudah mempelajari Aritmatika dengan cara permainan.
Sedangkan Sudono (2000:1) mengemukakan bahwa bermain adalah suatu kegiatan yang
dilakukan dengan atau tanpa mempergunakan alat yang menghasilkan pengertian
atau memberikan informasi, memberi kesenangan maupun mengembangkan imajinasi
anak.
Dengan bermain anak bisa mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya, anak-anak akan lebih senang dan menjadikan si anak lebih aktif. Sebagaimana dikemukakan oleh Mayke (dalam Sudono, 2000:3) bahwa belajar dengan bermain akan memberi kesempatan kepada anak untuk memanipulasi, mengulang-ulang, menemukan sendiri, bereksplorasi serta mempraktekkannya. Arief Sadiman (2002:79) mengatakan permainan dapat dipakai untuk mempraktekkan keterampilan membaca dan berhitung sederhana. Tujuan pemberantasan buta aksara dan buta angka untuk orang dewasa atau pelajaran membaca, menulis permulaan serta matematika adalah yang lazim dikaitkan dengan permainan.
Dengan bermain anak bisa mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya, anak-anak akan lebih senang dan menjadikan si anak lebih aktif. Sebagaimana dikemukakan oleh Mayke (dalam Sudono, 2000:3) bahwa belajar dengan bermain akan memberi kesempatan kepada anak untuk memanipulasi, mengulang-ulang, menemukan sendiri, bereksplorasi serta mempraktekkannya. Arief Sadiman (2002:79) mengatakan permainan dapat dipakai untuk mempraktekkan keterampilan membaca dan berhitung sederhana. Tujuan pemberantasan buta aksara dan buta angka untuk orang dewasa atau pelajaran membaca, menulis permulaan serta matematika adalah yang lazim dikaitkan dengan permainan.
Dalam
proses pembelajaran guru hendaknya memberikan kebebasan kepada setiap anak
didiknya untuk mengekspresikan apa yang ada dalam pemikiran mereka. Sebaiknya
guru juga memberi kebebasan sesuai dengan sifat alami anak sehingga dalam
mengembangkan kreatifitasnya anak tidak merasa takut untuk memiliki pendapat
berbeda dengan gurunya
Dari
penjelasan di atas dapatlah disimpulkan bahwa metode bermain yang dimaksud
adalah suatu cara yang digunakan dalam melakukan kegiatan untuk menjelaskan
konsep abstrak dalam matematika yang lebih menyenangkan Hal tersebut
dimaksudkan sebagai upaya untuk mencegah ketakutan siswa terhadap pelajaran
matematika sehingga siswa lebih paham dan lebih lama mengingatnya.
Berikut dikemukakan beberapa
pendapat para ahli berupa teori tentang pentingnya penggunaan metode bermain
diantaranya seperti diuraikan di bawah ini.
Teori-teori Belajar
Teori-teori Belajar
- Teori Belajar menurut Behavioristik (Thordinke)
Belajar
merupakan proses pembentukan hubungan yang erat antara stimulus (S) dengan
respon (R) semakin erat hubungan antara hubungan S-R maka proses belajar telah
berlangsung dengan baik. Belajar merupakan teori yang diutamakan
latihan-latihan. Teori ini juga akan mencoba berbagai cara dan usaha untuk
mendapatkan respon yang benar. Dalam belajar dengan cara ini harus ada: 1)
motif pendororng kegiatan, 2) ada bermacam-macam respon dalam situasi tertentu,
3) ada eliminasi mencapai tujuan. Hukum dalam teori Thordinke ada
tiga tahap yaitu : 1) Low
readness yaitu kesiapan stimulus dalam bereaksi, jika reaksi terhadap stimulus
didukung oleh kesiapan bereaksi, maka reaksi memuaskan. 2) Low of exerscises
(hukum latihan, yaitu apabila S_R sering dilakukan atau dipraktekkan maka
hubungan ini semakin kuat. Dalam praktek ini diberikan hadiah bagi respon yang
benar. 3) Law of Effect (Hukun Akibat) yaitu apabila hubungan S_R dibarengai
dengan pengaruh yang memuaskan maka hubungan ini menjadi kuat.
- Teori dari sudut pandang psikonalisa (Sigmund Freud)
Sigmund
Freud, memandang bermain sama seperti fantasi atau lamunan. Melalui bermain
ataupun fantasi seseorang dapat memproyeksikan harapan-harapan serta pengalaman
yang menyenangkan. Freud percaya bahwa bermain penting dalam perkembangan emosi
anak. Perkembangan emosi anak yang dimaksud adalah dengan bermain proses
belajar-mengajar menjadi lebih menyenangkan dan dapat merangsang belajar siswa
sehingga prestasi siswa dapat meningkat. Pandangan Freud tentang bermain
akhirnya memberi ilham atau inspirasi kepada para ilmu jiwa untuk menggunakan
bermain sebagai alat diagnosa ataupun “mengobati” anak yang bermasalah.
- Teori Belajar Kognisi
1) Menurut
Piaget, anak menjalani tahapan perkembangan kognisi dan sampai akhirnya proses
berfikir anak menyamai proses berfikir orang dewasa. Dalam teori Piaget,
bermain bukan saja mencerminkan tahap perkembangan kognisi anak itu sendiri.
Piaget juga mengemukakan bahwa saat bermain anak-anak tidak belajar sesuatu
yang baru, tetapi mereka belajar mempraktekkan dan mengkonsolidasi keterampilan
baru yang diperoleh. Dari hal tersebut dapat diketahui bahwa dengan bermain,
keterampilan baru yang diperoleh melalui praktek tidak akan segera hilang dan
akan selalu diingatnya sehingga belajar dapat meningkat.
2).
Vygotsky memandang bermain identik dengan kaca pembesar yang dapat menelaah
kemampuan baru dari anak yang bersifat potensial sebelum diaktulisasikan dalam situasi
lain, khususnya dalam kondisi normal seperti di sekolah. Pandangan Vygotsky
mengenai bermain bersifat mennyeluruh, dalam pengertian selain untuk
perkembangan kognisi, bermain juga mempunyai peranan penting bagi perkembangan
sosial dan emosi anak. Dengan demikian melalui bermain, anak dapat memiliki
perhatian, daya ingat, dan kerjasama yang lebih baik sehingga dapat
meningkatkan prestasi belajar siswa.
3). Teori
Jerome Singer (1937), menegaskan bahwa menggunakan metode bermain sebagai usaha
untuk menggunakan kemampuan fisik dan mental guna mengatur atau mengorganisasi
pengalamanny. Bermain memberikan kesempatan kepada anak-anak untuk menjelajahi
dunianya serta mengmbangkan kreativitasnya.
4). Teori
Robert White (1959) yang menjelaskan bahwa bahwa kegiatan bermain pada anak
tidak membutuhkan hadiah ataupun reward namun mereka bermain untuk kegiatan itu
sendiri. White mengemukakan bahwa dengan adanya kegiatan bermain anak-anak akan
memperoleh kepuasan pribadi karena merasa kompeten. Keberhasilan melakukan
sesuatu atau memperoleh tanggapan dari lingkungannya sudah merupakan hadiah
tersendiri bagi anak. Bermain dapat merupakan cara anak bertindak menurut
kehendaknya sendiri dalam tindakan yang efektif. Jadi, dengan adanya kegiatan
bermain itu sendiri dapat membuat siswa merasa senang dan ingin mengulanginya
lagi.
5). Teori
Jerome Brunner menyatakan bahwa belajar matematika akan berhasil jika proses
pengajaran diarahkan kepada konsep-konsep dan struktur-struktur yang termuat
dalam pokok bahasan yang akan diajarkan, disamping hubungan-hubungan yang
terkait antara konsep-konsep dan struktur-struktur. Brunner melukiskan
anak-anak berkembang melalui tiga tahap perkembangan yaitu: (a).Tahap Enactive
Dalam tahapan ini anak-anak langsung terlibat dalam menggunakan/ memanipulasi
objek. (b). Tahap Iconic dimana dalam tahap ini kegiatan anak-anak mulai
menyangkut mental yang merupakan gambaran dari obyek-obyek yang
dimanipulasinya. Pada tahap ini anak-anak tidak langsung dari objek. (c). Tahap
Simbolik yaitu tahapan ini siswa memanipulasi simbol-simbol atau
lambang-lambang objek tertentu. Anak tidak lagi terkait objek-objek pada tahap
sebelumnya. Anak pada tahap ini sudah mampu menggunakan notasi tanpa
ketergantungan terhadap objek real.
6).Teori
Belajar Dienes yang mengemukakan bahwa tiap-tiap konsep atau prinsip dalam
Matematika yang disajikan dalam bentuk konkret akan dapat dipahami dengan baik.
Konsep-konsep Matematika dipelajari menurut tahapan-tahapan bertingkat dalam
belajar mamatika. Adapun tahapan-tahapan tersebut yaitu: (a). Permainan bebas
adalah tahap belajar konsep yang terdiri dari aktivitas yang tidak terstruktur
dan tidak diarahkan. Hal ini memungkinkan siswa untuk bereksperimen dan
memanipulasi benda-benda konkrit dan abstrak dari unsur-unsur yang dipelajari.
(b). Permainan yang menggunakan aturan
Pada tahap ini siswa sudah mulai meneliti pola-pola dan keteraturan yang terdapat dalam suatu konsep. Melalui permainan siswa diajak untuk mulai mengenal dan memikirkan struktur Matematika. (c). Permainan mencari persamaan sifat dimana pada tahap ini siswa mulai diarahkan untuk menemukan struktur yang menunjukkan kesamaan yang terdapat dalam permainan yang dimainkan (d). Permainan dengan reperesentasi yaitu merupakan tahap pengambilan kesamaan sifat dari beberapa situasi yang sejenis. Pada tahap ini anak mencari gambaran konsep kesamaan sifat dari situasi tertentu. (e). Permainan dengan simbolisasi dimana tahap ini merupakan tahap belajar konsep pada saat anak perlu merumuskan reperesentasi pada setiap konsep dengan menggunakan simbol Matematika atau dengan perumusan verbal yang sesuai. (f) Formalisasi
tahapan mempelajari suatu konsep dan struktur matematika yang saling berhubungan. Dalam hal ini anak harus mengurut sifat-sifat itu untuk dapat merumuskan sifat-sifat baru
Kerangka Konseptual
Dalam kegiatan belajar mengajar penggunaan metode mengajar matematika harus disesuaikan dengan jenjang pendidikan. Untuk anak/ peserta didik pada jenjang pendidikan permulaan pada umumnya masih senang bermain-main, maka pengajaran matematika akan lebih berhasil bila menggunakan metode bermain, karena anak didik dilibatkan secara aktif bermain dalam situasi nyata yang berkaitan dengan matematika. Dengan metode bermain pengajaran matematika akan lebih menarik dan menyenangkan karena menggunakan benda-benda konkret yang telah dikenal oleh siswa, sehingga siswa akan lebih termotivasi dalam belajar dan meningkatkan hasil belajar matematika khususnya pada materi mengurutkan bilangan menggunakan garis bilangan. Selain menyenangkan bermain juga membantu anak untuk memahami materi pelajaran dan meningkatkan kemampuan dalam memecahkan masalah.
Pada tahap ini siswa sudah mulai meneliti pola-pola dan keteraturan yang terdapat dalam suatu konsep. Melalui permainan siswa diajak untuk mulai mengenal dan memikirkan struktur Matematika. (c). Permainan mencari persamaan sifat dimana pada tahap ini siswa mulai diarahkan untuk menemukan struktur yang menunjukkan kesamaan yang terdapat dalam permainan yang dimainkan (d). Permainan dengan reperesentasi yaitu merupakan tahap pengambilan kesamaan sifat dari beberapa situasi yang sejenis. Pada tahap ini anak mencari gambaran konsep kesamaan sifat dari situasi tertentu. (e). Permainan dengan simbolisasi dimana tahap ini merupakan tahap belajar konsep pada saat anak perlu merumuskan reperesentasi pada setiap konsep dengan menggunakan simbol Matematika atau dengan perumusan verbal yang sesuai. (f) Formalisasi
tahapan mempelajari suatu konsep dan struktur matematika yang saling berhubungan. Dalam hal ini anak harus mengurut sifat-sifat itu untuk dapat merumuskan sifat-sifat baru
Kerangka Konseptual
Dalam kegiatan belajar mengajar penggunaan metode mengajar matematika harus disesuaikan dengan jenjang pendidikan. Untuk anak/ peserta didik pada jenjang pendidikan permulaan pada umumnya masih senang bermain-main, maka pengajaran matematika akan lebih berhasil bila menggunakan metode bermain, karena anak didik dilibatkan secara aktif bermain dalam situasi nyata yang berkaitan dengan matematika. Dengan metode bermain pengajaran matematika akan lebih menarik dan menyenangkan karena menggunakan benda-benda konkret yang telah dikenal oleh siswa, sehingga siswa akan lebih termotivasi dalam belajar dan meningkatkan hasil belajar matematika khususnya pada materi mengurutkan bilangan menggunakan garis bilangan. Selain menyenangkan bermain juga membantu anak untuk memahami materi pelajaran dan meningkatkan kemampuan dalam memecahkan masalah.
Mengurutkan
bilangan dilakukan secara bertahap dari bilangan satuan, puluhan, ratusan
bahkan dapat di acak antara satuan puluhan dan ratusan. Dengan kemampuan siswa
yang mahir dalam mengurutkan bilangan dari kecil ke besar dan sebaliknya
sehingga dapat menjadi dasar bagi pembelajaran selanjutnya.
1 komentar:
boleh minta sumbernya gak? lam kenal...
Posting Komentar